Rabu, 21 Maret 2012

Tulisan Contoh Hukum Perdata

Dalam tulisan kali ini, akan membahas hukum perdata. Hukum perdata sering sekali dibicarakan dalam publik, tapi pada prakteknya hanya sebagian dari kita yang mengerti benar apa itu hukum perdata dan apa itu hukum publik. Apa itu hukum perdata? Pada tulisan sebelumnya mungkin sudah di tulis dengan jelas apa itu hukum perdata, namun kali ini akan saya ulas balik tentang apa itu hukum perdata:

"Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini."

 
  1. Dalam suatu rumah tangga yang sedang bermasalah dan tidak ada solusinya lagi maka jalan yang di ambil adalah perceraian. Suatu perceraian tentu saja yang mungkin menjadi salah satu jalan akhir. Perceraian tentu saja adalah larangan bagi semua agama, dan di Indonesia sebuah kasus perceraian masuk dalam kategori hukum perdata.
  2. Seorang ayah yang ingin mewariskan harta bendanya ketika kelak ia meninggal tentunya akan menuliskan sebuah surat wasiat. Namun, ketika ia meninggal terjadi selisih paham antara anak-anaknya. Kemudian apabila salah satu dari anak tersebut melaporkan kepada pihak yang berwenang maka kasus tersebut termasuk dalam kasus perdata.
  3. Dalam suatu gossip yang beredar dari salah satu jejaring sosial ataupun media cetak, sesorang diberitakan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Jika seseorang tersebut merasa tersinggung dan melaporkan ke pihak yang berwajib dengan membawa bukti-bukti gossip yang beredar maka kasus tersebut kan menjadi kasus pencemaran nama baik karena gossip tersebut tidak benar. Dan kasus pencemaran nama baik termasuk ke dalam kasus hukum perdata.


    Dari ketiga contoh diatas merupakan contoh kasus yang sangat berberda makna, dan alasan apa yang terjadi. Dan tentunya masih banyak lagi contoh kasus perdata. Kasus-kasus perdata nampak seperti kasus pidana secara halus. Hukum perdata lebih mementingkan hak-hak dan kepentingan individual, berbeda dengan kasus pidana yang mencakup keseluruhan sebuah kasus dan mendetail.


Referensi:

Hukum Perdata

Hukum perdata yang berlaku di indonesia
            Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
            Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
  • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sejarah singkat hukum perdata yang ada di Indonesia
            Hukum yang berlaku di Indonesia tidak lepas dari hukum Eropa. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan praturan yang bernama “code civil de francis” atau disebut juga “cod napoleon” yang ditetapkan sebagai sumber hukum di Belanda setelah bebas dari penjajahan Perancis.

            Setelah beberapa tahun merdeka, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Tepatnya 5 Juli tahun 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW(Burgerlijk Wetboek) dan WVK(Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk Nasional-Nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Francis dari Code de Commerce.
Kedua undang-undang ini berlaku di Indonesia dengan azas koncodantie (azas politik hukum). Dan sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlinjk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK(Wetboek Van Koopandle).
Keadaan hukum perdata di Indonesia
            Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1.      Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

            Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan. Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1.      Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2.      Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3.      Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4.      Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5.      Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a.       Dari pemberlaku undang-undang

Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa
b.      Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :


I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
            Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.


II. Hukum kekeluargaan
            Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.

III. Hukum kekayaan
            Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
§  hak seseorang pengarang atau karangannya
§  hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.
IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

Hukm Perjanjian


Hukum Perjanjian


1.      Standar kontrak
·         adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
§  perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
§  Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus :
§  Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
§  Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis kontrak standar :
ü  Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
§  kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur
§   kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak
§  kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
ü  Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
§  kontrak standar menyatu
§  kontrak standar terpisah
ü  Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
§  kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani
§  kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan
2.      Macam – Macam Perjanjian :

1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
 Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
1)    Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
  • Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
  • Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2)    Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
  • Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
  • Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3)    Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
  • Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
  • Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
  • Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4)    Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
  • Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
  • Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
  • Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
3.      Syarat sahnya perjanjian
            Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat sahnya suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
§  Kesepakatan
            Kesepakatan merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik temu dari dua kepentingan yang berlawanan.  Proses ini umumnya diawali dengan pemberitahuan tentang maksud oleh satu pihak  kepada pihak yang lainnya (intent), kemudian pihak lainnya akan membalas dengan mengajukan  penawaran (offer).  Apabila penawaran tersebut disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran tersebut akan menerimanya (acceptance).  Proses kesepakatan ini harus dilakukan secara bebas tanpa adanya kekhilafan atau paksaan, ataupun  penipuan (Lihat KUHPerdata Pasal 1321).  Apabila sebaliknya terjadi dimana suatu kesepakatan diberikan secara tidak bebas maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya  menjadi dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).
§  Kecakapan
            Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang  (KUHPerdata Pasal 1329) beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia oleh undang-undang  dinyatakan tidak cakap (general legal presumption) . Mengenai ketidakcakapan ini KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,  perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu“. Selanjutnya sesuai KUHPerdata Pasal 330, yang dimaksudkan dengan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini maka apabila seorang yang belum berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah dewasa, begitu juga apabila ia bercerai pada usia belum genap 21 tahun maka ia tetap dinyatakan telah dewasa. Sedangkan yang masuk dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam pengampuan sesuai KUHPerdata Pasal 433  adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Mengenai ketidakcakapan perempuan yang telah kawin dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal 108 yang berbunyi ” Sang istri, sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami” dan Pasal 110 yang berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas”. Akan tetapi berdasar Surat Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua pasal tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang telah kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap dalam membuat Perjanjian.
§  Suatu hal tertentu.
            Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu di sini adalah merupakan objek dari suatu perjanjian atau yang  disebut juga dengan prestasi.  Menurut KUHPerdata Pasal 1332, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian.  Selanjutnya KUHPerdata Pasal 1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai objek  berupa  suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Selain itu, terkait dengan barang yang menjadi objek perjanjian ini, KUHPerdata Pasal 1334 menyatakan bahwa barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu Perjanjian. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk metepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi objek perjanjian itu.
§  Sebab yang halal.
            Penjabaran mengenai sebab yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata Pasal 1337 yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal,  jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
            Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya qpabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim. Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu – termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
Kapan perjanjian mulai dinyatakan berlaku?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak. Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi.
Kesimpulan ; perbedaan antara perikatan dengan perjanjian, perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah sesuatu yang kongkret dan merupakan peristima. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua pihak yang melakukan suatu perjanjian, sedangkan perikatan tidak lahir dari undang undang diluar kemauan pihak yang bersangkutan. Pihat tersebut dikenal dengan DEBITUR dan KREDITUR.

 

4.      Saat Lahirnya Perjanjian

            Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
§  kesempatan penarikan kembali penawaran;
§  penentuan resiko;
§  saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
§  menentukan tempat terjadinya perjanjian.


            Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.

            Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.

            Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:

a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
       Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
       Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.

c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
       Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.

d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
       Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak
5.      Pembatalan dan Pelaksanaan suatu perjanjian
            Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1)      Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)


Pelaksanaan Perjanjian

            Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.

Pembayaran
1.      Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2.      Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3.      Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4.      Media pembayaran yang digunakan
5.      Biaya penyelenggaran pembayaran


Penyerahan Barang
            Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1.      Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2.      Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3.      Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4.      Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian

            Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:


1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
           
            Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat  perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
§  Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
§  Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
§  Terkait resolusi atau perintah pengadilan
§  Terlibat hukum
§  Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
            Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Referensi :
buku paket Diktat Gunadarma " Aspek Hukum dlam Ekonomi "
http://asro.wordpress.com/2011/10/31/kontrak-5-syarat-sahnya-perjanjian/
http://ayu170491.wordpress.com/2011/05/30/syarat-sahnya-perjanjian/

Minggu, 18 Maret 2012

Hukum Perdata

HUKUM
Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Hukum perdata
            Hukum perdata adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
  1. Hukum keluarga
            Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
sedangkan pengertian keluarga/defenisi keluarga menurut Salvicion dan Ara Celis (1989):
            Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
            Secara umum, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antara orangtua dan anak-anak, hubungan antara suami dan istri, serta mengatur hak-hak harta benda perkawinan
            Hukum keluarga tidak lepas dari yang namanya perkawinan, karena keluarga ada dikarenakan adanya perkawinan. Kalau berbicara masalah keluarga kita juga harus tahu apa itu perkawinan, karena perkawinan berhubungan erat dengan keluarga. Keluarga sendiri ada dua, yaitu keluarga sedarah dan keluarga karena hubungan perkawinan
            Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri ( suaminya ).
2.    Hukum Perikatan
            Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
            Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
            Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. 
3. Hukum Waris
     
Pengertian Hukum Waris menurut para ahli :
§  Supomo, 1967
Hukum Waris adalah  peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (IMMATERIELE GOEDEREN) dari suatu angkatan manusia (generasi ) kepada turunannya
§  Ter Haar , 1950 : 197
Hukum waris adalah Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang berwujud & tidak berwujud dari generasi pada generasi.
§  Wirjono Prodjodikoro, 1976
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
§  Prof. Mr.M.J.A Von Mourik
Hukum waris merupakan seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasifa orang yang meninggal dunia.
§  J. Satrio, SH
Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu / beberapa orang dengan dalam hal ini  hukum waris merupakan bagian dari harta kekayaan
§  Efendi Perangin SH
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditingkatkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya
§  Menurut Prof Ali Afandi SH
Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
§  H. Abdullah Syah, 1994
pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar /ketentuan,dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris
http://abdmuhni.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_09.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hukum-perikatan-12/